Minggu, 22 November 2009

MAPALA (MAHASISWA PENJAGA ALAM

Pada peringatan 40 tahun pendakian everest, ketika itu Edmund Hillary datang ke Everest untuk bernostalgia, namun ketika sampai basecamp I dan II ia menangis, begitu kotor dan kumuhnya everest dengan sampah… lalu ia menyerukan agar Himalaya khususnya pendakian menuju puncak everest ditutup untuk pendakian selama 25 tahun…agar everest kembali seperti semula. Namun teriakanya membeku di kaki Everest, karena pendakian ke Sagarmatha- begitu masyarakat Katmandu menyebutnya- semakin menggila. Dan 100 tahun lagi Everest akan menjadi gunung sampah bersalju….
Pada tahun 1967 di negeri kita tercinta, ketika mahasiswa waktu itu masih terselimuti dengan aktivitas politik disamping kegiatan belajar. Alam Indonesia terutama gunung-gunung masih perawan. Hutan masih berseri dengan rindangnya, tebing masih suci dari jamahan tangan dan paku-paku besi, dan ikan-ikan disungai masih asyik berenang hingga ke permukaan. Ketika mahasiswa mungkin jenuh dengan keadaan, mulailah mereka mencari alternative mengisi kejenuhan dan kekosongan, dan barangkali pula mereka mulai sadar dan terpesona: begitu indah alam Indonesia…alangkah luar biasanya tanah air Indonesia.

Mulailah mereka mencoba menapakkan kakinya di lereng-lereng gunung, melihat dari dekat kehidupan desa-desa terpencil, kemudian ketika melihat ke atas, ada apa ya dipuncak sana…begitulah pertanyaan sederhana – yang kemudian bergulir tak terbendung yang akhirnya menimbulkan kerusakan di kemudian hari – dengan kesadaran dan bekal seadanya dan boleh di bilang modal keberanian belaka, kaki-kaki mereka mulai merayap tapak-demi tapak. Halangan menjadi cambuk, rintanganpun akhirnya teratasi, ketika kesadaran mulai tercipta, ternyata apa yang mereka lakukan adalah awal dari kegiatan pendakian gunung di Indonesia. Sejak saat itu para mahasiswa mencari format organisasi sebagai legalitas kegiatan mereka di lingkungan kampus.

Mapala, kependekan dari Mahasiswa Pecinta Alam menjadi nama yang sampai sekarang masih terdengar di kampus-kampus di tanah air. Di awal tahun 70-an, seperti semut yang di siram gula, Mapala lahir di hampir di semua universitas. Sementara di luar kampuspun banyak kelompok anak muda yang menggandrungi kegiatan mendaki gunung. Waktu berjalan dengan semarak oleh kegiatan mendaki gunung. Satu persatu mereka menggagahi gunung di bumi pertiwi, hingga hampir semua gunung sudah tidak perawan tanpa suami, karena mereka menggagahinya lalu pergi, ketika berhasrat mereka datang dan pergi lagi. Begitu juga dengan tebing dan sungai-sungai liarnya.

Kegiatan mendaki gunung menjadi citra pagi mahasiswa dan pemuda, dengan berbagai niat dan tujuan mereka mulai mencari tempat-tempat yang berbahaya untuk menguji nyali dan menaklukannya, hingga menjadi barometer keberadaannya diantara pecinta alam lain.

Selama hampir 30 tahun kegiatan alam bebas terus melahirnya organisasi ataupun club-club pecinta alam. Mereka asyik saja menapaki dan menginjak-injak gunung, merayapi dan memaku tebing-tebing, dan membabat ranting dan pohon apapun yang menghalangi jalannya. Keserakahan emosi yang tak terbendung mengakibatkan tempat bermain mereka sendiri menjadi rusak. Tanpa disadari mereka mulai gelisah ketika tak ada lagi tempat-tempat yang menantang.

Ya…kerusakan alam harusnya juga menjadi tanggung jawab mereka. Mereka tak bisa seenaknya pergi, datang, pergi lagi tanpa berbuat sesuatu. Lalu mengapa jarang di dengar mereka melakukan kegiatan yang sifatnya memperbaiki atau melindungi. Banyak gunung merana, hutan-hutan menangis dan mereka cuek saja. Adakah makna Mapala yang notabenenya pecinta alam malah merusak alam. Secara tegas, mereka harus berbuat sesuatu, untuk menyelamatkan tempat bermain mereka sendiri….sekarang juga. Jika tidak Mapala ataupun pecinta alam hilang juga.

Pada dasarnya bumi mampu menyembuhkan sakitnya sendiri, kita hanya tidak perlu merusaknya lebih dalam, biarkan bumi melakukan terapi, kita hanya perlu menjaganya. Jika kita ingin andil menyelamatkannya hanya dua cara: pertama tidak menyentuhnya, artinya kita jangan naik gunung atau berkegiatan alam bebas lainnya untuk kurung waktu minimal 20 tahun. Kedua menanami dan memeliharanya.

Sekarang saatnya merubah kompas orentasi mapala sebagai Mahasiswa Penjaga Alam, bukan Mahasiswa pecinta alam, Mapala yang kegiatannya melindungi, mengadvokasi alam, menjaga dan merawatnya, agar alam juga memaafkan apa yang telah kita lakukan selama bertahun-tahun. Dengan demikian mapala akan menjadi Dewa Daphnis dalam mitos Yunani sebagai dewa penjaga dan pelindung hutan dan gunung…semoga Mapala mampu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar